Memberi nafkah kepada istri merupakan kewajiban utama bagi seorang suami. Nafkah yang dimaksud tidak hanya kebutuhan lahiriah, namun juga kebutuhan batiniah.
Selain memenuhi kebutuhan istri, seorang suami juga wajib menafkahi anaknya sampai mereka dewasa dan bisa mandiri. Kedua hal ini sudah menjadi tanggung jawab suami dan konsekuensi sebagai kepala rumah tangga.
Perjalanan mahligai rumah tangga tentu tidak selamanya berjalan mulus. Sesekali mungkin akan ada rintangan dan cobaan yang menyebabkan suami jengkel, istri merajuk, dan anak yang nakal. Semua cobaan ini hendaknya perlu dihadapi dengan penuh ketabahan dan kesabaran.
Salah satu masalah rumah tangga yang seringkali dihadapi adalah masalah nafkah. Kaum wanita (istri) berada di garda depan untuk membela urusan nafkah tersebut karena terkadang mereka sering ditelantarkan. Nafkahnya kurang, dan tidak cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari.
Ketika istri berada dalam posisi tersebut, seorang istri terpaksa harus mengambil uang suami tanpa izin darinya. Ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan lahiriahnya. Lalu bagaimana Hukum Istri Mengambil Uang Suami Tanpa Izin darinya?
Di zaman Rasulullah, Kasus seperti ini pernah menimpa pasangan suami-istri, Hindun dan Abu Sufyan. Abu Sufyan diceritakan sebagai suami yang pelitnya bukan main, hingga pada suatu hari Hindun terpaksa mengambil diam-diam uang milik suaminya. Karena merasa bersalah dan tidak tahu hukumnya, Hindun bertanya kepada Nabi SAW tentang hal ini. Percakapan mereka ini direkam dalam sebuah hadits riwayat Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha.
عن عائشة قالت: جاءت هند إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقالت: يارسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح، لايعطيني ما يكفيني وولدي، إلا ما أخذت من ماله، وهو لايعلم، فقال: خذي مايكفيك وولدك بالمعروف
Artinya, “Aisyah RA menceritakan bahwa Hindun pernah bertanya kepada Nabi SAW. ‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya Abu Sufyan suami yang pelit. Nafkah yang diberikannya kepadaku dan anakku tidak cukup sehingga aku terpaksa mengambil uang tanpa sepengetahuannya,’ kata Hindun. ‘Ambil secukupnya untuk kebutuhanmu dan anakmu,’” jawab Nabi Shallallahu alaihi wasallam, (HR Bukhari, Ibnu Majah, dan lain-lain).
Berdasarkan hadits diatas, Rasulullah dengan tegas membolehkan bagi istri yang merasa di dzalimi untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya.
Seorang suami sudah semestinya harus mengerti kondisi dan kebutuhan istri dan anaknya. Jika ia tidak memberi nafkah yang cukup, sementara dia memiliki uang, maka seorang istri diperbolehkan mengambil harta suami meskipun tanpa izin darinya sekedar untuk mencukupi kebutuhan harian dan kebutuhan untuk anaknya.
Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalany dalam Fathul Bari menafsirkan kata “bil ma’ruf” dalam hadits diatas dengan standar umum yang berlaku di daerah masing-masing.
Jadi, kendati diperbolehkan mengambil uang suami tanpa izin, tapi tidak boleh mengambil uang suami secara berlebihan. Sekadarnya saja. Di sini istri juga mesti berhati-hati untuk menggunakan uang, terlebih lagi pengguna kartu kredit yang tagihannya dilimpahkan ke suami.
Wallahu a’lam.